Baleg Minta Usulan Konkrit GP Farmasi Terkait UU POM
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta usulan konkrit Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi terkait dengan RUU Pengawasan Obat Dan Makanan Serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia. Baleg menginginkan usulan yang lebih rinci dan aplikatif sehingga UU ini nantinya dapat diterima seluruh masyarakat Indonesia.
Siang itu, Selasa (12/7),. Baleg mengundang GP. Farmasi untuk memberikan masukan-masukan terhadap RUU Pengawasan Obat Dan Makanan Serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia. Sebelumnya, Baleg juga telah mengundang beberapa stakeholders terkait seperti Badan POM, YLKI, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (ASPETRI).
Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah yang memimpin rapat saat itu mengatakan, masukan dari GP. Farmasi sangat diperlukan mengingat Pemerintah perlu melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang membahayakan. Masukan ini, katanya, juga diperlukan untuk menyempurnakan draft rancangan undang-undang dimaksud.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar Ali Wongso mengatakan, apa yang diharapkan masyarakat umum adalah obat yang baik kualitasnya, efektif untuk menyembuhkan penyakit, terjangkau harganya dan mudah didapat.
Untuk lebih menyempurnakan draft RUU dimaksud, Baleg berharap GP Farmasi dapat memberikan masukan yang lebih detail tidak sekedar point-pointnya saja, karena jika tidak dijabarkan dengan jelas dikhawatirkan akan menimbulkan salah persepsi.
Sebagai contoh, dengan merk obat yang sama kita membeli di Indonesia dengan membeli di Singapura ternyata khasiatnya lebih bagus yang membeli di Singapura. Demikian juga harga-harga obat di Singapura harganya jauh lebih murah daripada di negara kita. Padahal daya beli masyakat Indonesia sangat terbatas. Hal inilah tentunya yang perlu mendapatkan masukan, hal-hal penting apa yang perlu diatur supaya UU ini sebaik mungkin dapat bermanfaat dan menambah nilai bagi masyarakat.
Sementara, anggota Baleg lainnya Subyakto menambahkan, perlunya mengatur beredarnya makanan dan minuman atau jajanan anak-anak yang beredar di sekolah-sekolah yang mengandung zat-zat bahaya seperti pewarna, borax dan lain-lainnya. Dia menanyakan apakah perlu dilakukan koordinasi, karena tentunya Badan POM tidak mampu menjangkau pengawasan ke tingkat sekolah-sekolah.
Dalam memberikan masukannya, Ketua Umum GP. Farmasi Anthony Sunaryo memberikan usulan bahwa judul dan isi dalam RUU dimaksud seperti dua hal yang tidak berhubungan tetapi disatukan. Di satu sisi, melakukan pengawasan demi keamanan dan di sisi lain mendorong pemanfaatan obat asli Indonesia.
Anthony menambahkan, filosofi dari RUU ini hendaknya juga mencakup beberapa hal seperti, nasional interest, pro public, business friendly dan tidak mengatur hal-hal teknis.
Menyangkut definisi farmasi ada perbedaan antara PP 72/98 dengan RUU. PP 72/98 menyebutkan sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Sedang berdasarkan RUU, obat adalah bahan obat, obat jadi, obat asli Indonesia dan obat tradisional yang dimasukkan kedalam wilayah Indonesia dan kosmetika. Akibatnya akan terjadi kerancuan mengenai pengertian obat dan kosmetik.
Gp. Farmasi juga mengusulkan, ijin edar seharusnya ditujukan untuk melindungi masyarakat di dalam negeri, tapi kalau ijin ekspor harus diarahkan untuk kepentingan business karena ijin edarnya dibuat di negara tujuan (tidak terjadi duplikasi).
Untuk pembinaan, GP. Farmasi juga mengusulkan agar tidak terjadi tumpang tindih antar institusi pemerintah dalam hal ini antara Badan POM dan Kementerian Kesehatan, perlu ditentukan satu institusi agar prosedurnya tidak terlalu panjang dan merepotkan. (tt)